Balada Uang Sepuluh Ribu dan Seratus Ribu

Uang kertas Rp.1000 dan Rp.100.000 dibuat dari kertas yg sama dan diedarkan oleh Bank yang sama, Bank Indonesia (BI). Ketika dicetak, mereka bersama, tetapi berpisah di bank dan beredar di masyarakat.

Bagaimanapun, 4 bulan kemudian mereka bertemu secara tidak sengaja di dalam dompet seorang pemuda. Maka mereka pun saling bicara:

Uang Rp.100.000 bertanya kepada Rp.1000; “Kenapa badan kamu begitu lusuh, kumel, kotor dan berbau. Parah bener kondisimu ?”

Rp.1000 menjawab; “Karena baru saja aku keluar dari bank, aku langsung menjadi milik orang kelas bawah, buruh, penjaja makanan, penjual ikan dan di tangan pengemis.”

Lalu Rp.1000 bertanya balik kepada Rp. 100.000; “Kenapa kamu kelihatan begitu baru, rapi dan masih bersih?”

Rp.100.000 menjawab; “Karena secara gitu lho aku duit gedean, sejak baru pertama kali aku keluar dari bank, aku langsung disambut perempuan cantik, dan beredarnya pun di restoran mahal, di kompleks bisnis terkemuka dan juga hotel berbintang serta keberadaan aku selalu dijaga dan jarang keluar dari dompet.”

Lalu Rp.1000 bertanya lagi; “Pernahkah engkau berada di tempat ibadah?”

Rp.100.000 menjawab; “Belum pernah”

Rp.1000 pun berkata lagi; “Ketahuilah walaupun aku hanya Rp.1000, tetapi aku selalu berada di seluruh tempat ibadah, dan di tangan anak-anak yatim piatu dan fakir miskin bahkan aku selalu bersyukur kepada Allah. Aku tidak dipandang sebagai sebuah nilai, tetapi adalah sebuah manfaat.”

Lantas menangislah Rp.100.000 karena berasa besar, hebat, tinggi, sombong, tetapi tidak begitu bermanfaat selama ini.

*rumahkeluarga-indonesia.com

Yang Dilakukan Wanita Yahudi Ketika Mengandung

Dalam Qur’an, tertulis bahwa kebanyakan dari golongan Yahudi ialah diberi karunia berupa kepintaran akal. Artikel Dr Stephen Carr Leon patut menjadi renungan bersama. Stephen menulis dari pengamatan langsung. Setelah berada 3 tahun di Israel karena menjalani housemanship dibeberapa rumah sakit di sana. Dirinya melihat ada beberapa hal yang menarik yang dapat ditarik sebagai bahan tesisnya, yaitu, “Mengapa Yahudi Pintar?”

Ketika tahun kedua, akhir bulan Desember 1980, Stephen sedang menghitung hari untuk pulang ke California, terlintas di benaknya, apa sebabnya Yahudi begitu pintar? Kenapa tuhan memberi kelebihan kepada mereka? Apakah ini suatu kebetulan? Atau hasil usaha sendiri?

Maka Stephen tergerak membuat tesis untuk Phd-nya. Sekadar untuk Anda ketahui, tesis ini memakan waktu hampir delapan tahun. Karena harus mengumpulkan data-data yang setepat mungkin.

Marilah kita mulai dengan persiapan awal melahirkan. Di Israel, setelah mengetahui sang ibu sedang mengandung, sang ibu dan bapak akan membeli buku matematika dan menyelesaikan soal bersama suami.

Stephen sungguh heran karena temannya yang mengandung sering membawa buku matematika dan bertanya beberapa soal yang tak dapat diselesaikan. Kebetulan Stephen suka matematika.

Stephen bertanya, “Apakah ini untuk anak kamu?”

Dia menjawab, “Iya, ini untuk anak saya yang masih di kandungan, saya sedang melatih otaknya, semoga ia menjadi jenius.”
Hal ini membuat Stephen tertarik untuk mengikut terus perkembangannya.

Kembali ke matematika tadi, tanpa merasa jenuh si calon ibu mengerjakan latihan matematika sampai genap melahirkan. Hal lain yang Stephen perhatikan adalah cara makan. Sejak awal mengandung dia suka sekali memakan kacang badam dan korma bersama susu. Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad yang dicampur dengan badam dan berbagai jenis kacang-kacangan.

Menurut wanita Yahudi itu, daging ikan sungguh baik untuk perkembangan otak dan kepala ikan mengandungi kimia yang tidak baik yang dapat merusak perkembangan dan penumbuhan otak anak didalam kandungan. Ini adalah adat orang orang Yahudi ketika mengandung. menjadi semacam kewajiban untuk ibu yang sedang mengandung mengonsumsi pil minyak ikan.

*rumahkeluarga-indonesia.com

Sumur, Dapur, dan Kasur…

Hari ini, kalimat ini sangat dihindari oleh banyak wanita. Setiap disebut tiga kata ini, kesannya sangat rendah. Para istri yang hanya bisa mengurus sumur, dapur dan kasur benar-benar hanya pelengkap penderita. Bukan wanita peradaban. Tidak modern. Tidak maju. Begitulah opini tersebar atau mungkin sengaja disebarkan zaman ini.

Efek dari opini tersebut, para orangtua menjauhkan anak-anak perempuannya dari ketiganya. Dampaknya, saat anak perempuan telah memasuki rumahtangganya, dia tidak memiliki kemampuan mengurusi sumur dapur dan kasur. Sang istri itu hanya mampu mengurusi bukunya, pulpennya, laptopnya, seperangkat alat komunikasinya, diskusi-diskusi, berteriak lantang di jalan-jalan.

Mari kita tengok kisah yang diriwayatkan berikut ini (lihat: Nurul Abshar fi Manaqib Ali Bait an-Nabi al Akhyar, Asy Syablanji al Mishri. Lihat juga: Hasyiyah al Bujairimi untuk Al Minhaj):

حُكِيَ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إلَى عُمَرَ يَشْكُو إلَيْهِ خُلُقَ زَوْجَتِهِ فَوَقَفَ بِبَابِهِ يَنْتَظِرُهُ فَسَمِعَ امْرَأَتَهُ تَسْتَطِيلُ عَلَيْهِ بِلِسَانِهَا وَهُوَ سَاكِتٌ لَا يَرُدُّ عَلَيْهَا فَانْصَرَفَ الرَّجُلُ قَائِلًا إذَا كَانَ هَذَا حَالَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَكَيْفَ حَالِي فَخَرَجَ عُمَرُ فَرَآهُ مُوَلِّيًا فَنَادَاهُ مَا حَاجَتُك يَا أَخِي فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَشْكُو إلَيْك خُلُقَ زَوْجَتِي وَاسْتِطَالَتَهَا عَلَيَّ فَسَمِعْتُ زَوْجَتَكَ كَذَلِكَ فَرَجَعْت وَقُلْت إذَا كَانَ هَذَا حَالَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ مَعَ زَوْجَتِهِ فَكَيْفَ حَالِي فَقَالَ لَهُ عُمَرُ إنَّمَا تَحَمَّلْتُهَا لِحُقُوقٍ لَهَا عَلَيَّ إنَّهَا طَبَّاخَةٌ لِطَعَامِي خَبَّازَةٌ لِخُبْزِي غَسَّالَةٌ لِثِيَابِي رَضَّاعَةٌ لِوَلَدِي وَلَيْسَ ذَلِكَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهَا وَيَسْكُنُ قَلْبِي بِهَا عَنْ الْحَرَامِ فَأَنَا أَتَحَمَّلُهَا لِذَلِكَ فَقَالَ الرَّجُلُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ وَكَذَلِكَ زَوْجَتِي قَالَ فَتَحَمَّلْهَا يَا أَخِي فَإِنَّمَا هِيَ مُدَّةٌ يَسِيرَةٌ

Dikisahkan bahwa seseorang datang kepada Umar bin Khattab radhiallahu anhu ingin mengadukan akhlak istrinya. Orang itu berhenti di depan pintu rumah Umar menunggunya. Dia mendengar istri Umar juga sedang mengeluarkan kalimat-kalimat keras kepada Umar dan Umar diam saja tidak menjawab.

Orang itu segera pergi sambil bergumam: jika demikian keadaan amirul mukminin Umar bin Khattab, maka siapalah aku?

Umar keluar, dia melihat orang itu pergi. Umar pun memanggilnya: Apa keperluanmu, wahai saudaraku?

Orang itu berkata: Wahai Amirul Mukminin, aku ingin mengadukan kepadamu akhlak istriku dan beraninya dia kepadaku. Ternyata aku mendengar istrimu pun melakukan hal yang sama. Maka aku pun pulang dan berkata: jika keadaan amirul mukminin saja begini, maka siapalah aku.

Umar berkata kepada orang itu: Sesungguhnya aku sabar terhadap istriku karena ia mempunyai hak terhadapku. Karena ia pemasak makananku, pemanggang rotiku, penyuci pakaianku, penyusu anakku. Padahal hal itu bukanlah kewajibannya. Dan hatiku tenang karenanya, tidak tergoda oleh yang haram. Karenanya aku sabar menghadapinya.

Orang itu berkata: Wahai Amirul Mukminin, begitu pula istriku

Umar menasehatinya: Sabarlah menghadapinya wahai saudaraku, karena itu hanya sebentar saja.

Mari kita selami kisah ini untuk mencari mutiaranya. Bukankah ini adalah Umar bin Khattab yang dikenal tegas dan ditakuti itu. Saat Nabi masih hidup, tidak sekali kita mendengarkan Umar memberikan solusi pedang bagi permasalahan yang ada. Menandakan betapa kerasnya Umar.

Seakan Umar dalam kisah ini bukanlah Umar dengan sifat di atas. Tetapi benar, ini Umar bin Khattab itu, amirul mukminin. Kelembutannya hatinya bagi istrinya begitu  mengagumkan. Bahkan saat sang istri mulai menaikkan intonasi suaranya dan mulai tidak teratur kalimatnya. Api kemarahan itu dipadamkan dengan langkah jitu pertama, diam.

Diam. Nampak sangat sepele bukan. Tapi cobalah tanyakan kepada para suami. Apakah diam mudah dilakukan saat istri bercuap-cuap, dalam posisi seorang suami sebagai seorang petinggi di luar sana dan saat sang suami bisa jadi merasa dirinya benar.

Ternyata Umar mengajari para suami tentang cara efektif menahan lisan terhadap istri yang sedang marah. Tidak menyiram minyak pada api yang sedang berkobar. Jika disimpulkan ada dua hal yang membuat Umar begitu sabar dan memilih meredamnya dengan diam: Jasa istri dan peristiwa tersebut hanya sesaat saja.

Saat menyebutkan jasa istri, Umar berkata,

Sesungguhnya aku sabar terhadap istriku karena ia mempunyai hak terhadapku. Karena ia pemasak makananku, pemanggang rotiku, penyuci pakaianku, penyusu anakku. Padahal hal itu bukanlah kewajibannya. Dan hatiku tenang karenanya, tidak tergoda oleh yang haram. Karenanya aku sabar menghadapinya.

Dan saat menyebutkan peristiwa yang hanya lewat itu, Umar berkata,

Sabarlah menghadapinya wahai saudaraku, karena itu hanya sebentar saja.

Kembalilah pada jasa-jasa istri dan kita pun akan bisa memahami tema pembahasan kita,

  1. Dia pemasak makananku
  2. Dia pemanggang rotiku
  3. Dia penyuci pakaianku
  4. Dia penyusu anakku
  5. Hatiku tenang karenanya, tidak tergoda oleh yang haram.

Poin satu dan dua : DAPUR

Poin tiga : SUMUR

Poin empat dan lima : KASUR

Allahu Akbar, tiga kata ‘hina’ di mata banyak keluarga itu ternyata telah melanggengkan sebuah rumah tangga besar dalam sejarah Islam. Karena ketiganya, Umar bersabar menghadapi kemarahan sang istri. Dan karena ketiganya, keretakan rumah tangga bisa dihindari.

Bukankah sekarang kita paham, betapa mulianya dapur, sumur dan kasur bagi derajat seorang wanita.

Bukankah sekarang kita paham, bahwa anak-anak perempuan kita harus mumpuni dalam ketiga hal tersebut.

Bukankah, sekarang kita paham bahwa merendahkan ketiga hal itu dalam kehidupan seorang istri berdampak pada retaknya bangunan rumahtangga hari ini.

Setelah membaca tulisan ini, pasti Anda tidak salah paham bahwa seorang wanita hanya mengurusi tiga hal itu. Karena tidak ada kalimat dan pemahaman tersebut dari tulisan ini.

*parentingnabawiyah.com

Jika Landasan…

Jika landasan pernikahan adalah seks, maka pasangan kerap bertengkar jika layanan di kamar tidur tidak memuaskan.

Jika landasan pernikahan adalah harta, maka pasangan bakal bercerai jika jatuh miskin.

Jika landasan pernikahan adalah kerana tubuh, pasangan bakal lari jika rambut beruban dan muka berkerut atau badan sudah menjadi gendut.

Jika landasan pernikahan adalah anak, maka pasangan akan mencari alasan untuk pergi jika buah hati (anak) tidak hadir.

Jika landasan pernikahan adalah kepribadian, pasangan akan lari jika orang berubah tingkah lakunya.

Jika landasan pernikahan adalah cinta, hati manusia itu tidak tetap dan mudah terpikat pada hal-hal yang lebih, lagi pula manusia yang dicintai pasti mati.

Jika landasan pernikahan adalah ibadah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu kekal dan Mahapemberi hidup kepada makhlukNya.

Allah mencintai hambanya melebihi seorang ibu mencintai bayinya.

Maka tak ada alasan apapun di dunia yang dapat meretakkan rumah tangga kecuali jika pasangan itu durhaka kepada Allah.

*rumahkeluarga-indonesia.com

Budi Ashari Lc., Menghidupkan Kembali Parenting Nabawiyah

“Jangan pernah merasa Beristirahat, sebelum sebelah kaki menginjak surga,” begitulah motto hidup Ustadz Budi Ashari Lc. Kalimat yang diinspirasikan dari jawaban Imam Ahmad terhadap pertanyaan anaknya itu, benar-benar membuat ayah dengan tiga anak ini tak kenal lelah dalam mengejar idealisme ilmu.

Akan tetapi, setelah menamatkan diri di Fakultas Hadis dan Dirosah Islamiyah Universitas Islam Madinah, kegundahan lantas menghampirinya. Bagaimana mungkin banyak keluarga muslim porak-poranda mengidentifikasi konsep keilmuan Barat dalam mengarungi bahtera rumah tangga padahal Islam memiliki konsep yang bisa memutus mata rantai kesalahan itu.

Melihat fenomena ini, ia bersama kawan-kawannya membidani lahirnya sebuah Lembaga Kajian Peradaban Islam yang diberi nama Cahaya Siroh. Siang, sore, bahkan hingga malam, mantan pimred Majalah Ghoib ini setia berbagi dari satu pengajian ke pengajian lainnya untuk memperkenalkan bagaimana Nabi memiliki konsep orisinil tentang parenting.

Lantas bagaimanakah konsep parenting nabawiyah yang beliau telurkan? Apa yang harus dilakukan keluarga muslim di tengah era badai fitnah akhir zaman seperti ini? Kontributor CGS, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi mencoba mewawancarainya, sesaat setelah acara Grand Launching Buku Parenting Nabawiyah di Jakarta, beberapa waktu lalu. Berikut adalah petikannya.

Banyak konsep parenting sekarang beredar, termasuk konsep parenting “Islami”. Lantas apa yang keliru?

Sebenarnya kekeliruan ini tidak hanya terjadi pada konsep parenting, tapi juga di semua bidang seperti pendidikan dan teknologi. Dan ini memang sebuah konsekuensi ketika Islam tidak hadir di semua bidang.

Ilmu selain Islam akan selalu berkutat dalam tiga hal: pertama, dia bisa benar. Kedua, dia benar tapi tidak sempurna, dan ketiga salah total. Dan itu terjadi di konsep parenting. Dia (konsep parenting barat, red.) mungkin benar, dicarikan ayat dan hadisnya juga ketemu. Tapi menurut saya yang betul-betul benar tidak banyak. Banyak konsep parenting yang sekarang beredar ada di poin dua dan tiga itu tadi. Hal itu juga ditunjang dalam penelitian.

Berarti 2/3 dari konsep parenting yang sekarang beredar bermasalah. Kalau begini, bagaimana kita bisa mendapatkan hasil yang terbaik? Pokoknya, ketika ada ayat Al Qur’an dan Hadis ditabrak pasti hasilnya akan salah.

Apa yang membedakan konsep Parenting Nabawiyah dengan yang lainnya?

Sebenarnya ada proses yang dinamakan Islamisasi ilmu. Saat Andalusia sedang berjaya di Eropa, banyak keilmuan Islam diambil dari Eropa dan menjadi literatur Ilmu disana. Bahkan kita ketahui Andalusia kala itu menjadi pusat keilmuan paling bergengsi di dunia sampai-sampai orang Eropa mengenakan pakaian yang menyerupai orang Arab.

Nah, setelah menuntut ilmu di Andalusia, banyak orang Eropa membawa pulang ilmunya. Namun mereka banyak melakukan kecurangan. Sebuah karya ilmiah dari Andalusia kemudian dihapus namanya dan yang paling buruk adalah banyak karya dari Andalusia kemudian ditulis dengan no name (tanpa nama). Itu buruk sekali, padahal itu semua keilmuan dari Islam. Hal itu terus berjalan seiring mereka melakukan plagiatisasi dari ilmu-ilmu Islam. Dan ketika Andalusia terkubur, mereka naik.

Syekh Muhammad Quthb pernah berkata, kalau secara nilai tidak ada satupun yang bisa kita ambil dari Barat. Tapi Barat lebih maju hari ini dalam hal-hal yang sifatnya mendetail.Dalam psikologi misalnya, mereka mencoba mengangkakan jiwa seseorang, maka timbullah konsep IQ dimana kecerdasan bisa diangka-kan. Dari sisi itu kita akui mereka dahsyat. Namun mereka lepas dari dasar-dasar nash.

Oleh karena itu, parenting nabawiyah ingin membalik itu semua. Kita tidak memulai sebuah konsep dari penelitian, tapi jsutru berawal dari Al Qur’an dan Hadis. Suatu saat kita akan membuat penelitian, jika hasil penelitian itu pas dan tidak bertentangan dengan Nash maka kita masukkan. Jika tidak, maka kita tinggalkan.

Berarti Parenting Barat bermula dari Empirisisme?

Kalau kita bicara empirisme, sayangnya banyak orang bilang konsep dari Islam itu tidak empiris. Bagaimana tidak empiris? Wong Islam sudah seribu tahun mempraktekan keilmuannya.

Rasulullah SAW sendiri bagaimana mendidik anak-anaknya?

Ya, jika Allah mengizinkan itulah yang akan kita bahas secara berkelanjutan dan berkala. Tentang bagaimana Nabi mendidik anaknya dan mendidik anak-anak para sahabat. Alhamdulillah banyak para ulama sudah menulis bagaimana konsep pendidikan Nabi. Sayangnya di Indonesia, jika bicara pendidikan Islam tidak pernah jauh dari buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan (Tarbiyatul Aulad/Pendidikan Anak Dalam Islam, red).

Saya sering bilang, buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan adalah sebuah karya ilmiah yang luar biasa. Tapi ketika ada beberapa hal tidak bisa dijawab buku itu, lantas datang kritik terhadap buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan, semua orang kemudian menjadi memproteksi. Padahal ada bantahan ilmiah terhadap buku itu tanpa mengurangi kehebatan buku tersebut.

Selain Syekh Abdullah Nashih Ulwan, siapa Ulama yang bisa kita rujuk?

Di Abad 5 Hijriah ada Abu Al Walid Al Baji. Begitu juga dengan Ibnu Qayyim Al Jauzi. Mereka semua menulis tentang anak. Di Kitab Mukaddimah, Ibnu Khaldun juga memuat tentang Pendidikan Anak. Sampai konsep hukuman terhadap anak pun ditulis khusus oleh Ibnu Khaldun. Belakangan kesini, banyak yang menulis tentang pendidikan. Muhammad Quthb salah satu yang ahli dalam menulis tentang pendidikan anak.

Para sahabat adalah orang yang sangat teguh memegang ajaran Islam. Sebenarnya dari mana Rasulullah SAW memulai pendidikannya kepada mereka?

Kalau kita bicara keluarga, Nabi memulai konsepnya sejak memilih pasangan. Dari tempat dijatuhkannya nutfah. Makanya Nabi merasa perlu sekali untuk ikut campur dalam proses pernikahan sahabat. Sehingga Nabi lah yang secara langsung memilihkan pasangan bagi para sahabat. Ketika Istri Utsman Bin Affan, Ruqayyah meninggal, Nabi langsung menawarkan adiknya, Ummu Kultsum. Begitu juga ketika Ummu Kultsum meninggal Nabi langsung bilang, ‘Demi Allah Utsman, jika aku punya anak perempuan lagi, maka aku akan nikahkan kepadamu.”

Tapi banyak yang bilang bahwa Pendidikan Zaman Nabi berbeda dengan kondisi saat ini?

Ini memang kalimat yang sangat menyesatkan. Ada yang memahaminya salah, ada pula yang sengaja memahaminya salah. Jangankan kalimat yang begitu, kalimat yang sekarang dijadikan sumber dalam pendidikan dan dianggap sebagai sebuah kalimat sakral adalah ‘didiklah anak sesuai zamannya.’

Anda tahu ini kalimat siapa? Rasulullah SAW pun bukan. Ada yang mengatakan kalimat Umar atau Ali, silahkan tanya ahli hadis. Kata Aidh al Qorni ada yang mengatakan bahwa itu kalimat Umar tapi diragukan. Hitunglah kalimat itu benar, kalimat itu juga jangan disakralkan, karena itu bukan wahyu.

Misalkan, kedepan di Indonesia tidak lagi memerlukan pernikahan dan pasangan gay serta lesbian diizinkan untuk menikah, apakah ini yang dimaksud dengan sesuai zamannya? Maka dalam parenting kita harus mengambil sosok yang terbaik yaitu Rasulullah SAW.

Ini bisa jadi kalimat orang yang tidak faham sejarah. Orang yang faham sejarah akan mengatakan bahwa sejarah akan mengulang dirinya sendiri, artinya tidak ada yang baru dalam dunia ini. Sejarah itu dipelajari juga karena itu. Maka ketika Abu Jahal meninggal, Rasulullah pun berkata Hadza fir’aun hadzihil ummah. Abu Jahal ini Fir’aunnya umat. Padahal Fir’aun hidupnya kapan? Jauh sekali, tapi Nabi hanya ingin mengatakan bahwa Fira’un di zaman apapun pasti ada. Hanya tampil dalam rupa berbeda. Begitu juga dengan konsep pendidikan dan parenting.

Bolehkah kita berdiskusi dengan anak tentang Allah di tengah rasio mereka yang belum berkembang?

Ada kalimat yang bagus dari Syekh Muhammad Quthb. Beliau mengatakan Allah sengaja membuka mulut anak-anak di waktu kecil untuk dimasukkan nilai-nilai tauhid oleh orangtuanya. Banyak anak bertanya mengapa matahari timbul di siang hari tapi tidak di malam hari. Kenapa pohon kelapa tinggi, sedangkan pohon yang lainnya pendek. Bayangkan banyak dari kita menjawab secara ilmiah untuk anak sekecil itu. Maka menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Syekh Muhammad Quthb memberikan jawaban yang sangat bagus sekali, ‘Begitulah Allah menghendakinya’.

Ustadz mengatakan bahwa membangun keluarga harus dekat dengan Visi KeIslaman, namun fenomena yang berkembang tidak sedikit para aktivis dakwah yang bercerai, bagaimana pandangan ustadz mengenai fenomena ini?

Salah pertama adalah tidak ada ilmunya. Masyarakat kita sering sekali memahami kalau ustadz ilmunya banyak. Kalau dai mengetahui segalanya. Apalagi level ustadz gampang sekali disematkan bagi siapa saja. Lulusan Timur Tengah pun juga tidak ada jaminan mengerti konsep parenting jika ia tidak mau menggalinya.

Kalau ilmu sudah dimiliki ia akan bisa menerapkannya. Ilmu itu yang akan menutup adalah syahwat. Kalau syahwat sudah bicara, maka Ilmu akan tertutup. Saya berikan contoh sederhana, sekarang banyak sekali kesalahan fatal ibu-ibu para dai yang merasa sangat bangga memiliki pengajian di banyak tempat. Lantas anaknya dikemanakan? Anaknya ditelantarkan di rumah. Padahal siapa yang menyuruh seorang wanita aktif di luar rumah, tapi anaknya ditelantarkan?

Ummu Salamah RA misalnya, membaca kiprahnya di masyarakat memang tidak sekaliber Aisyah RA. Kenapa? Karena Ummu Salamah RA anaknya banyak, berbeda dengan Aisyah RA yang tidak memliiki anak.

Surat Al Ahzab ayat 33 misalnya, faqorna fii buyutikun, menetaplah kalian para wanita di rumah kalian, siapa yang mau menerima ayat itu seutuhnya? Ayat ini malah dilawan dan dibelokkan sana-sini.

Di era badai fitnah saat ini, apa pesan Ustadz bagi keluarga muslim?

Sebenarnya zaman ini sedang mencari cahaya. Zaman ini sedang mencari Tuhannya, karena itu memang karakter zaman jahiliyah. Sebagai muslim kita harus bersyukur, kita punya cahaya hidayah yang diberikan oleh Allah. Maka jangan tinggalkan cahaya itu dan kita malah lari ke cahaya kegelapan. Kita harusnya mencari cahaya itu dari sumbernya. Tidak ada lain cahaya itu bersumber dari Allah SWT. Allahu nurus samawati wal ardh. Allah lah cahaya langit dan bumi. [Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi].